Latest News

KI MANTEB SUDARSONO

Posted by MANIKMAYA on Rabu, 24 Agustus 2011 , under | komentar (0)



Kresno GugahKI MANTEB SOEDHARSONO, (1948 – ), adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa yang mulai terkenal sejak tahun 1980-an. Ia berasal dari daerah Ndoplang, Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Surakarta. Sebagai dalang, Manteb Sudharsono terkenal dengan sabetan-nya. Saking piawainya dia memainkan boneka wayang dengan segala variasi dan kelincahannya dia dijuluki Dalang Setan oleh para penggemarnya. Kalau sedang memainkan trik sabetan dengan cepat dan terampil layaknya sebagai tukang sulap. Misalnya dalam ramainya perang tiba-tiba tokoh yang tadinya terdesak “sim salabim” tahu-tahu memegang senjata dan ganti memukul lawannya. Tidak ayal penontonpun memberikan aplous yang gemuruh.

Menurutnya semua itu bukan sulap bukan sihir, namun karena ketekukan melatih kecepatan gerak tangan dan kemampuan mengalihkan perhatian penonton. Untuk keperluan keberhasilan sabetnya maka dia sangat kreatif dan sangat teliti mendesain wayangnya. Mulai dari ketebalan kulitnya, pola hiasannya, gapitan sampai wandanya. Pernah dia mengganti gapit tokoh Bima sampai 16 kali, sampai tercapai kemantapan keseimbangan yang dia inginkan. Tidak jarang dia memberikan petunjuk langsung pada para pembuat wayangnya bidang mana yang harus mendapat perhatian khusus untuk ketebalan kerokan kulitnya. Misalnya untuk tokoh Arjuna dalam keperluannya perang kembang, kalau perlu daerah pundak dan lengan atas setebal “triplek”, begitu sarannya. Untuk wayang-wayang khusus, misalnya untuk menciptakan geter, getap dan ketepatan wanda Baladewa misalnya, Pak Manteb selalu terlibat dari mulai mendesain pola, ngerok, menatah, sungging dan paling penting adalah ulat-ulatan dan tentunya gapitannya. Semuanya harus tepat dalam presisi ukuran dan rasa kemantaban seni yang tepat dan lengkap. Artinya salah satu tidak boleh meleset. Mulai bedhahan, sunggingan, ulat-ulatan dan terakhir gapitan. Dalang lain boleh menganggap remeh hal gapitan, namun dia tidak. Bisa dikatakan dia adalah seorang dalang yang sekaligus ahli dalam bidang seni rupa wayang. Pengetahuannya yang mendalam, open dan teliti dalam bidang rupa wayang itu sangat mendukung keberhasilan pakelirannya, terutama dalam bidang sabet.

Dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, mulanya belajar mendalang pada ayahnya, lalu memperda-lamnya pada Ki Nartasabda di Semarang (1972) dan Ki Ganda Sudarman di Sragen (1974). Ia mulai mendalang di muka umum sejak usia 12 tahun.

Pada tahun 1982, Man-teb menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta. Sejak itu namanya mulai menanjak. Dalam pemilihan Dalang Kesayangan pada Angket Wayang 93 dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI, Manteb Sudharsono menduduki peringkat kedua, di bawah Ki Anom Suroto Lebdocarito.

Dalang yang setiap bulan rata-rata pentas sepuluh hari ini, pernah melawat ke Spanyol, Jerman, Amerika Serikat, Swiss, Suriname, Prancis dan Jepang.

Sejak tahun 1983, ia melakukan kegiatan pribadi, yaitu nanggap wayang di rumahnya, setiap hari Selasa Legi, bertepatan dengan hari wetonnya (weton adalah hari kelahiran menurut tradisi Jawa, diadakan setiap 35 hari). Acara ini kemudian dikenal dengan nama Malem Selasa Legen, menghadirkan dalang-dalang dari berbagai daerah. Kegiatan yang dimaksudkan untuk ikut melestarikan budaya pedalangan ini, hingga kini (1998) masih senantiasa dilakukan.

Karena pengabdiannya pada seni pedalangan, Ki Haji Manteb Soedharsono mendapat anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden.

Ki Manteb Soedharsono juga tercatat sebagai dalang yang paling laris sebagai peraga iklan radio dan televisi. Terkenal dengan slogannya “Oye”. Para penggemarnya sering memanggilnya dengan dalang oye atau dalang setan.

Pada awal 1998, Ki Manteb Soedharsono men-dalang pada pergelaran kolosal di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah, dengan lakon Rama Tambak. Pergelaran yang sukses ini mendapat dukungan dari pakar wayang STSI, yang menangani naskah ceritanya (Sumanto) dan tata gendingnya (B. Subono).




Audio pagelaran wayang oleh Ki Manteb Sudharsono



Babat Wonomarto
Bimo Suci

Gatutkoco Gugur 
Kresno Gugah




KI NARTO SABDO

Posted by MANIKMAYA on Kamis, 18 Agustus 2011 , under | komentar (1)




Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 25 Agustus 1925 (pn 7 Oktober 1985), Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, di Gedung PTIK, 28 April 1958. Dengan lakon Kresna Duta, pertunjukan itu disiarkan pula oleh RRI. ”Saya panik, maklum baru pertama kali,” tutur Ki Narto, beberapa tahun kemudian. Pada adegan pertama, ia sempat bingung, mencari cempala, alat yang biasa diketukkan dalang pada sisi kotak wayang, untuk mendramatisasi suasana. Padahal, alat itu sudah tergeletak di pangkuan saya,” tuturnya.

Waktu itu, ”jabatan resmi” Ki Narto sebenarnya penggendang grup Ngesti Pandowo, yang tengah main di Jakarta. Memang, ia sejak remaja sudah ”memuja” para dalang tersohor, Ki Ngabei Wignyosoetarno, Sala, dan Ki Poedjosoemarto, Klaten. Ia juga tekun menyimak berbagai buku tua. Kepala Studio RRI waktu itu, Sukiman menawari Ki Narto untuk mendalang. Dan jadilah pertunjukan di PTIK itu.
Penampilan pertama itu langsung mengangkat namanya. Berturut- turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu lebih banyak karena belajar sendiri — tidak seperti pada umumnya dalang, yang lahir karena keturunan dalang pula, atau ”kewahyon” (mendapat wahyu). ”Saya tidak begitu. Saya hanya memilih teknik terbaik dari beberapa dalang terkemuka,” kata Ki Narto.Ia memang lebih banyak mementaskan cerita-cerita carangan — hasil apresiasi mendalam dari suatu cerita baku, atau gubahan baru yang bersumber dari pakem (cerita induk). Lantas ia mendapat banyak kritik. ”Nartosabdo terlalu menyempal dari pakem,” kata seorang ahli pedalangan. ”Apa salahnya?” kata Ki Narto. ”Kreasi baru itu ibarat bakmi, yang bukan makanan sehari-hari. Suatu saat kita toh akan kembali makan nasi. Atau ibarat bistik. Tuhan menciptakan sapi, pengolahannya terserah kepada kita.”Ki Narto juga terkenal sebagai penggubah gending-gending Jawa. Di bidang ini, kreasinya melebar ke segala arah. ”Dulu tidak ada gending yang berirama rumba, waltz, atau dangdut. Saya mencobanya,” ujarnya. Dalam konser karawitan di Gedung Mitra Surabaya, 1976, yang mempergelarkan 14 komposisi ciptaannya, Ki Narto sempat menampilkan lagu Begadang (Oma Irama) dalam Pelog Paten Nem. Tidak semua kreasinya bercorak dolanan. Ada juga yang berat, misalnya Sekar Ngenguwung. Lahir dengan nama Soenarto, pendidikan formalnya hanya Standaard School Muhammadiyah (SD 5 tahun). Ayahnya seorang perajin sarung keris. Sabdo adalah gelar yang diberikan oleh Ki Sastro, pendiri Ngesti Pandowo, mengingat jasanya membuat kreasi baru bagi grup wayang orang yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tersebut. Gelar itu ia terima pada 1948, dan sejak itu namanya menjadi Nartosabdo

Pagelaran Wayang Kulit bersama Ki Nartosabdho


  Pandawa Dadu

Resi Manumoyoso 

Bambang sakri kromo

Nara Suma

Pandu Gugur (Pamukso)

Bale Golo Golo

wirotho parwo

Pandowo Gubah

Pandowo Boyomg

Kongso Adu Jago

Bimo Bungkus

Bimo Suci

Dewo Ruci

Gatutkoco Lahir

Gatutkoco Sungging

Kolo Bendono Gugur

Gatutkoco Wisudha

Brajadenta balelo

Banowati Janji

Sayemboro Mentang

Alap2 Styobumo

Noroyono Jumeneng Ratu

Sombo Juing

semar barang jantur

Wahyu Cakraningrat

Semar kuning

Permadi Boyong

setyowati setyawan

Sudomolo

 JALANAN BARATAYUDHA

Karno Duto

kresno gugah 01,02,03,04,05,06,07,08,09,10,11,12,13,14,15,16

kresno Duto

Abimanyu Gugur

karnoTanding

salyo,DURYUDONO GUGUR

KI H Anom Suroto

Posted by MANIKMAYA on , under | komentar (1)




 




















ANOM SUROTO, H, (1948 – ), dalang Wayang Kulit Purwa, mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdo dan beberapa dalang senior lainnya.

Dalang laris itu juga pernah belajar di Kursus Pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta (HBS), belajar secara tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, bahkan pernah juga belajar di Habiranda, Yogyakarta. Saat belajar di Habiranda ia menggunakan nama samaran Margono.
Pada tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito. Tahun 1995 ia memperolah Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.
Selain aktif mendalang, ia juga giat membina pedalangan dengan membimbing dalang-dalang yang lebih muda, baik dari daerahnya maupun dari daerah lain. Secara berkala, ia mengadakan semacam forum kritik pedalangan dalam bentuk sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya Jl. Notodiningratan 100, Surakarta. Acara itu diadakan setiap hari Rabu Legi, sesuai dengan hari kelahirannya, sehingga akhirnya dinamakan Rebo Legen. Acara Rebo Legen selain ajang silaturahmi para seniman pedalangan, acara itu juga digunakan secara positif oleh seniman dalang untuk saling bertukar pengalaman. Acara itu kini tetap berlanjut di kediamannya di Kebon Seni Timasan, Pajang, Sukoharjo. Di Kebon seni itu berdiri megah bangunan Joglo yang begitu megah dalam area kebon seluas 5000 M2.
Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat pada tahun 1991, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat (waktu itu), Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wasasan pedalangan me-ngenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Di sela kesibukannya mendalang Anom Suroto juga menciptakan beberapa gending Jawa, di antaranya Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung pembangunan, Nandur ngunduh, Salisir dll. Dalang yang rata-rata pentas 10 kali tiap bulan ini, juga menciptakan sanggit lakon sendiri antara lain Semar mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, Wahyu Kembar dll.
Bagi Anom Suroto tiada kebahagiaan yang paling tinggi kecuali bisa membuat membuat senang penontonnya, menghibur rakyat banyak dan bisa melestarikan kesenian klasik.
Anom Suroto pernah mencoba merintis Koperasi Dalang ‘Amarta’ yang bergerak di bidang simpan pinjam dan penjualan alat perlengkapan pergelaran wayang. Selain itu, dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, menjadi pemrakarsa pendirian Yayasan Sesaji Dalang, yang salah satu tujuannya adalah membantu para seniman, khususnya yang berkaitan dengan pedalangan.
Dalam organisasi pedalangan, Anom Suroto menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat PEPADI, untuk periode 1996 – 2001.
Pada tahun 1993, dalam Angket Wayang yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI-1993, Anom Suroto terpilih sebagai dalang kesayangan.
Anom Suroto yang pernah mendapat anugerah nama Lebdocarito dari Keraton Surakarta, pada 1997 diangkat sebagai Bupati Sepuh dengan nama baru Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.

Audio pagelaran wayang oleh Ki Anom Suroto


photo

Posted by MANIKMAYA on Minggu, 14 Agustus 2011 , under | komentar (0)




ini dokumentasi yang di ambil waktu pagelaran pertama yang di selanggarakan oleh paguyuban manikmaya pada tanggal 25 july 2011di balai desa galak dengan dalang KI.Sentho Yitno Carito dengan lakon PALGUNO PALGUNADI
pagelaran yang kami selenggarakan pertama kali ini di sambut baik oleh masyarakat, XXXXXXXXXX













Gardapati

Posted by MANIKMAYA on , under | komentar (2)



Gardapati


Prabu Gardapati adalah raja Puralaya atau Turilaya,sebuah kerajaan kecil yang merupakan taklukan Kerajaan Astina.Dalam Baratayuda,bersama saudaranya,Prabu Gardamuka,ia merancang siasat jitu dengan memecah pasukan Pandawa dan menjebak Bima serta Arjuna.Siasat yang diusulkan itu disetujui Duryudana.
Pada mulanya Gardapati sengaja memanas-manasi Bima dengan menantang dan memperolokkannya.Bima yang bernafsu mengejar Prabu Gardapati mengeluarkan senjata cis sakti,membenamkan tanah di belakangnya,dan seketika itu tanah berubah menjadi kolam lumpur yang dalam.Tanpa menduga adanya jebakan itu,Bima masuk ke dalam kubangan lumpur yang dalam.Arjuna yang melihat abangnya berada dalam bahaya segera menolong,tetapi sebelum ia berhasil menarik Bima,Prabu Garadapati tiba-tiba mendorongnya sehingga ikut pula masuk dalam jebakan itu.
Setelah berhasil menjebak Bima dan Arjuna,Prabu Gardapati segera melapor pada Prabu Anom Duryudana untuk meminta perintah lebih lanjut,apakah kedua ksatria andalan Pandawa itu dibiarkan mati perlahan-lahan terbenam dalam lumpur atau langsung dibunuh.Atas saran Patih Sengkuni,Prabu Anom Duryudana memerintahkan Gardapati untuk memenggal kepala Bima dan Arjuna.Kedua kepala ksatria andalan Pandawa itu rencananya akan dipertontonkan pada keluarga dan prajurit Pandawa untuk melemahkan semangat tempur mereka.Jika itu terjadi,Duryudana yakin bahwa Pandawa yang tinggal tersisa tiga orang itu akan langsung menyerah kalah.Dengan demikian Baratayuda akan dimenangkan pihak Kurawa.
Dengan adanya perintah itu Prabu Gardapati bergegas kembali ke kubangan lumpur.Hatinya dipenuhi rasa puas dan bangga,sehingga kurang waspada.Dengan sepucuk pedang ia akan memenggal kepala Bima,tetapi saat itulah Bima melompat dan menarik tangan Prabu Gardapati yang sedang mengayunkan pedangnya,sehingga ikut pula jatuh ke kubangan lumpur.Sebelum Gardapati sempat menghindar,Bima telah menyambar tubuhnya,membenamkannya ke dalam lumpur dan menggunakan tubuh lawannya sebagai batu loncatan ke atas.Maka selamatlah Bima dan Arjuna,sedangkan Prabu Gardapati tewas terbenam dalam lumpur maut ciptaannya sendiri.

dewa

Posted by MANIKMAYA on , under | komentar (0)



Betoro condro

Batara Candra adalah salah seorang putera Batara Ismaya dengan ibunya bernama Dewi Kanastren,sedangkan istrinya berjumlah 27 orang.Mereka itu kakak beradik putera Sang Hyang Daksa.Dalam pewayangan dikatakan Batara Candra adalah dewa yang bertugas mengatur dan memelihara rembulan serta sinarnya.Batara Candra termasuk yang disebut-sebut dalam Hastabrata sebagai dewa yang harus diteladani sifat-sifatnya oleh raja yang bijaksana dan selalu bersikap menyenangkan orang banyak.
Dalam sebuah kisah diceritakan ada seorang raja siluman gandarwa bernama Prabu Kala Rahu alias Rembuculung yang hendak mencuri Tirta Amerta.Kala Rahu bersembunyi di kegelapan malam,tetapi Batara Candra memergokinya dan melaporkan tempat persembunyiaan itu pada Batara Guru.Pemuka Dewa itu lalu mengutus Batara Wisnu menangkap Kala Rahu.Namun ketika hendak ditangkap,raja siluman itu melawan.Dengan senjata cakra,Batara Wisnu memotong kepala Kala Rahu.Tubuhnya jatuh terhempas ke bumi menjelma menjadi lesung penumbuk padi.Sementara itu kepalanya melayang-layang di angkasa menanti kesempatan membalas untuk menghukum Batara Candra.Itulah yang menimbulkan legenda gerhana rembulan,yang menyebabkan di masyarakat pedesaan di Jawa Tengah,Jawa Timur dan Bali,orang memukul-mukul lesung bila terjadi gerhana bulan,yang dipercaya untuk menghalau Kala Rahu.






 betoro cokro

Batara Cakra atau Cakradewa adalah putera Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru dengan Batari Parwati.Batara Cakra berkedudukan di Kahyangan Ujung Semeru.Ia menjalankan tugas sebagai pujangga kahyangan,sedangkan Batara Ganesya atau Batara Gana bertugas menjaga Panti Pustaka Kahyangan.
Oleh karena itu Batara Cakra dan Batara Gana sama-sama mempunyai tugas membina kesusastraan,sehingga Batara Gana sebagai lambang dewa kebijaksanaan bidang pendidikan,Batara Cakra sebagai lambang dewa kapujanggan.Karya Batara Cakra yang terkenal adalah Serat Pustaka Jamus Kalimasada dan Jitapsara.Jamus Kalimasada dianugerahkan kepada Puntadewa,Jitapsara dianugerahkan kepada Begawan Palasara.








Batara Brama


Batara Brama adalah putera kedua Batara Guru.Ia tinggal di Kahyangan Duksinageni.Kahyangan ini disebut juga Hargadahana atau Argadahana.Istrinya ada tiga orang,yakni Dewi Saci atau Dewi Wasi,Dewi Rarasati,dan Dewi Saraswati.Diantara banyak anaknya,yang paling terkenal adalah Dewi Dresanala yang diperistri Arjuna.Perkawinan ini menghasilkan seorang cucu bagi Batara Brama,yakni Bambang Wisanggeni.
Batara Brama pernah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menceraikan Dewi Dresanala dari Arjuna.Dresanala kemudian diberikan kepada Dewasrani,meskipun dia sedang hamil tua.Tindakan Batara Brama ini akibat bujukan dan hasutan Batari Durga.Namun akhirnya Batara Brama menyadari kesalahannya.
Menjelang Baratayuda,Batara Brama mendapat tugas berat dari Batara Guru.Karena para dewa menilai tidak ada satu makhluk pun di dunia yang sanggup menandingi kesaktian Wisanggeni,Batara ditugasi untuk membunuh Wisanggeni.Brama lalu memanggil Wisanggeni dan menanyakan apakah Wisanggeni bersedia berkorban bagi kemenangan Pandawa di Baratayuda.Wisanggeni menyatakan sanggup.Batara Brama lalu menyuruh cucunya memandang salah satu titik diantara mata Batara Brama.Seketika itu juga tubuh Wisanggeni mengecil sampai menjadi debu.Dalam Mahabarata,tokoh Wisanggeni tidak ada.
Batara Brama tergolong dewa yang murah hati tapi terkadang bertindak kurang bijaksana.Suatu ketika,Batara Brama melihat kedua kakak beradik,Hiranyakasipu dan Hiranyawreka yang tekun bertapa selama berbulan-bulan.Ketika Batara Brama bertanya apa tujuan mereka bertapa.Mereka menjawab ingin memiliki kesaktian yang terkalahkan oleh makhluk apapun,termasuk para dewa.Dengan murah hati,tanpa berpikir panjang,Batara Brama mengabulkan permintaan itu.
Bertahun-tahun kemudian,setelah Hiranyakasipu menjadi raja Alengka dan Hiranyawreka menjadi raja Giyantipura,keduanya bersekutu melawan para dewa.Tentu saja para dewa menjadi kewalahan karena kesaktian kedua kakak beradik itu tidak tertandingi oleh makhluk apapun.Untunglah Batara Wisnu menemukan akal yang cerdik,ia mengubah wujudnya menjadi makhluk baru,yakni berbadan dewa tapi berkepala singa dan menamakan dirinya Narasinga.Dengan bentuk seperti itu,Batara Wisnu dapat mengalahkan dan membunuh kedua raksasa sakti itu.




Batara Darma


Batara Darma dikenal sebagai dewa yang bertugas menjaga tegaknya keadilan dan kebenaran dalam dunia pewayangan.Dewa inilah yang sebenarnya ayah biologis Puntadewa,atas izin Prabu Pandu Dewanata,istrinya yang bernama Dewi Kunti menerapkan ajian Adityarhedaya untuk mengundang para dewa.Dewa yang pertama dipanggil adalah Batara Darma ini.
Suatu ketika,dalam melaksanakan tugas menjaga keadilan Batara Darma pernah bertindak kurang bijaksana,sehingga ia dikutuk oleh Resi Animandaya.Pertapa sakti itu merasa diperlakukan tidak adil,dan ketika kemudian ia menuntut keadilan,Batara Darma tidak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan.Karena adanya kutukan ini Batara Darma harus menjalani kehidupan sebagai manusia pincang yang dilahirkan dari wanita berdarah sudra,akhirnya Batara Darma menitis pada Yama Widura,anak bungsu Abiyasa,yang lahir dari seorang dayang bernama Drati.
Batara Darma pernah melindungi Dewi Drupadi,ketika istri Puntadewa itu hendak ditelanjangi oleh Dursasana.Waktu itu setelah Pandawa ditipu dan kalah main judi dengan para Kurawa,Dewi Drupadi dianggap sebagai barang taruhan yang dimenangkan oleh Kurawa.Di hadapan banyak orang,Dursasana mencoba melepas kain yang dikenakan Dewi Drupadi,namun selalu gagal.Setiap kali kain yang dikenakan dilepaskan dari tubuh Drupadi,saat itu pula secara gaib tubuh Drupadi terlapisi oleh kain yang lain,berkat pertolongan Batara Darma.
Setelah itu,menjelang berakhirnya masa pembuangan Pandawa di hutan Kamiyaka,Batara Darma datang menguji rasa keadilan Puntadewa,anaknya.Dewa itu menyaru sebagai raja gandarwa dan membunuh adik-adik Puntadewa satu persatu.Ia lalu mengajukan berbagai pertanyaan ujian pada Puntadewa yang ternyata dijawab dengan sangat memuaskan.Ketika Puntadewa disuruh memilih mana diantara adik-adiknya yang akan dihidupkan kembali,Puntadewa pun menjawab dengan pertimbangan keadilan yang matang.Karena jawaban Puntadewa yang memuaskan ini,raja gandarwa lalu berubah ujud menjadi Batara Darma,dan keempat adik Puntadewa dihidupkan kembali.
Menjelang kematian Pandawa,Batara Darma juga menjelma menjadi anjing peliharaan Puntadewa.Anjing itu terus mengikuti perjalanan Pandawa dalam perjalanan kelana menjemput kematian dan mengantar Puntadewa sampai ke pintu sorga.Namun ketika Puntadewa hendak masuk ke sorga,oleh penjaga gerbang sorga anjing itu dilarang masuk.Karena penolakan itu Puntadewa lalu protes,Puntadewa enggan masuk ke dalam sorga yang tidak menghargai sebuah kesetiaan.Pada saat itulah si anjing berubah ujud menjadi Batara Darma.Menurut kitab Mahabarata,Batara Darma adalah putra Sang Hyang Atri,cucu Batara Brama.