KI MANTEB SUDARSONO
Kresno GugahKI MANTEB SOEDHARSONO, (1948 – ), adalah seorang dalang Wayang Kulit Purwa yang mulai terkenal sejak tahun 1980-an. Ia berasal dari daerah Ndoplang, Karangpandan, Kabupaten Karanganyar, Surakarta. Sebagai dalang, Manteb Sudharsono terkenal dengan sabetan-nya. Saking piawainya dia memainkan boneka wayang dengan segala variasi dan kelincahannya dia dijuluki Dalang Setan oleh para penggemarnya. Kalau sedang memainkan trik sabetan dengan cepat dan terampil layaknya sebagai tukang sulap. Misalnya dalam ramainya perang tiba-tiba tokoh yang tadinya terdesak “sim salabim” tahu-tahu memegang senjata dan ganti memukul lawannya. Tidak ayal penontonpun memberikan aplous yang gemuruh.
Menurutnya semua itu bukan sulap bukan sihir, namun karena ketekukan melatih kecepatan gerak tangan dan kemampuan mengalihkan perhatian penonton. Untuk keperluan keberhasilan sabetnya maka dia sangat kreatif dan sangat teliti mendesain wayangnya. Mulai dari ketebalan kulitnya, pola hiasannya, gapitan sampai wandanya. Pernah dia mengganti gapit tokoh Bima sampai 16 kali, sampai tercapai kemantapan keseimbangan yang dia inginkan. Tidak jarang dia memberikan petunjuk langsung pada para pembuat wayangnya bidang mana yang harus mendapat perhatian khusus untuk ketebalan kerokan kulitnya. Misalnya untuk tokoh Arjuna dalam keperluannya perang kembang, kalau perlu daerah pundak dan lengan atas setebal “triplek”, begitu sarannya. Untuk wayang-wayang khusus, misalnya untuk menciptakan geter, getap dan ketepatan wanda Baladewa misalnya, Pak Manteb selalu terlibat dari mulai mendesain pola, ngerok, menatah, sungging dan paling penting adalah ulat-ulatan dan tentunya gapitannya. Semuanya harus tepat dalam presisi ukuran dan rasa kemantaban seni yang tepat dan lengkap. Artinya salah satu tidak boleh meleset. Mulai bedhahan, sunggingan, ulat-ulatan dan terakhir gapitan. Dalang lain boleh menganggap remeh hal gapitan, namun dia tidak. Bisa dikatakan dia adalah seorang dalang yang sekaligus ahli dalam bidang seni rupa wayang. Pengetahuannya yang mendalam, open dan teliti dalam bidang rupa wayang itu sangat mendukung keberhasilan pakelirannya, terutama dalam bidang sabet.
Dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, mulanya belajar mendalang pada ayahnya, lalu memperda-lamnya pada Ki Nartasabda di Semarang (1972) dan Ki Ganda Sudarman di Sragen (1974). Ia mulai mendalang di muka umum sejak usia 12 tahun.
Pada tahun 1982, Man-teb menjadi juara Pakeliran Padat se-Surakarta. Sejak itu namanya mulai menanjak. Dalam pemilihan Dalang Kesayangan pada Angket Wayang 93 dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI, Manteb Sudharsono menduduki peringkat kedua, di bawah Ki Anom Suroto Lebdocarito.
Dalang yang setiap bulan rata-rata pentas sepuluh hari ini, pernah melawat ke Spanyol, Jerman, Amerika Serikat, Swiss, Suriname, Prancis dan Jepang.
Sejak tahun 1983, ia melakukan kegiatan pribadi, yaitu nanggap wayang di rumahnya, setiap hari Selasa Legi, bertepatan dengan hari wetonnya (weton adalah hari kelahiran menurut tradisi Jawa, diadakan setiap 35 hari). Acara ini kemudian dikenal dengan nama Malem Selasa Legen, menghadirkan dalang-dalang dari berbagai daerah. Kegiatan yang dimaksudkan untuk ikut melestarikan budaya pedalangan ini, hingga kini (1998) masih senantiasa dilakukan.
Karena pengabdiannya pada seni pedalangan, Ki Haji Manteb Soedharsono mendapat anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Presiden.
Ki Manteb Soedharsono juga tercatat sebagai dalang yang paling laris sebagai peraga iklan radio dan televisi. Terkenal dengan slogannya “Oye”. Para penggemarnya sering memanggilnya dengan dalang oye atau dalang setan.
Pada awal 1998, Ki Manteb Soedharsono men-dalang pada pergelaran kolosal di Museum Keprajuritan Taman Mini Indonesia Indah, dengan lakon Rama Tambak. Pergelaran yang sukses ini mendapat dukungan dari pakar wayang STSI, yang menangani naskah ceritanya (Sumanto) dan tata gendingnya (B. Subono).
Audio pagelaran wayang oleh Ki Manteb Sudharsono
Babat Wonomarto
Bimo Suci
Gatutkoco Gugur
Kresno Gugah
KI NARTO SABDO

Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 25 Agustus 1925 (pn 7 Oktober 1985), Nartosabdo muncul pertama kali sebagai dalang justru di Jakarta, di Gedung PTIK, 28 April 1958. Dengan lakon Kresna Duta, pertunjukan itu disiarkan pula oleh RRI. ”Saya panik, maklum baru pertama kali,” tutur Ki Narto, beberapa tahun kemudian. Pada adegan pertama, ia sempat bingung, mencari cempala, alat yang biasa diketukkan dalang pada sisi kotak wayang, untuk mendramatisasi suasana. Padahal, alat itu sudah tergeletak di pangkuan saya,” tuturnya.
Waktu itu, ”jabatan resmi” Ki Narto sebenarnya penggendang grup Ngesti Pandowo, yang tengah main di Jakarta. Memang, ia sejak remaja sudah ”memuja” para dalang tersohor, Ki Ngabei Wignyosoetarno, Sala, dan Ki Poedjosoemarto, Klaten. Ia juga tekun menyimak berbagai buku tua. Kepala Studio RRI waktu itu, Sukiman menawari Ki Narto untuk mendalang. Dan jadilah pertunjukan di PTIK itu.
Penampilan pertama itu langsung mengangkat namanya. Berturut- turut ia mendapat kesempatan mendalang di Solo, Surabaya, Yogya, dan seterusnya. Lahir pula cerita-cerita gubahannya, seperti Dasa Griwa, Mustakaweni, Ismaya Maneges, Gatutkaca Sungging, Gatutkaca Wisuda, Arjuna Cinoba, Kresna Apus, dan Begawan Sendang Garba. Semua itu lebih banyak karena belajar sendiri — tidak seperti pada umumnya dalang, yang lahir karena keturunan dalang pula, atau ”kewahyon” (mendapat wahyu). ”Saya tidak begitu. Saya hanya memilih teknik terbaik dari beberapa dalang terkemuka,” kata Ki Narto.Ia memang lebih banyak mementaskan cerita-cerita carangan — hasil apresiasi mendalam dari suatu cerita baku, atau gubahan baru yang bersumber dari pakem (cerita induk). Lantas ia mendapat banyak kritik. ”Nartosabdo terlalu menyempal dari pakem,” kata seorang ahli pedalangan. ”Apa salahnya?” kata Ki Narto. ”Kreasi baru itu ibarat bakmi, yang bukan makanan sehari-hari. Suatu saat kita toh akan kembali makan nasi. Atau ibarat bistik. Tuhan menciptakan sapi, pengolahannya terserah kepada kita.”Ki Narto juga terkenal sebagai penggubah gending-gending Jawa. Di bidang ini, kreasinya melebar ke segala arah. ”Dulu tidak ada gending yang berirama rumba, waltz, atau dangdut. Saya mencobanya,” ujarnya. Dalam konser karawitan di Gedung Mitra Surabaya, 1976, yang mempergelarkan 14 komposisi ciptaannya, Ki Narto sempat menampilkan lagu Begadang (Oma Irama) dalam Pelog Paten Nem. Tidak semua kreasinya bercorak dolanan. Ada juga yang berat, misalnya Sekar Ngenguwung. Lahir dengan nama Soenarto, pendidikan formalnya hanya Standaard School Muhammadiyah (SD 5 tahun). Ayahnya seorang perajin sarung keris. Sabdo adalah gelar yang diberikan oleh Ki Sastro, pendiri Ngesti Pandowo, mengingat jasanya membuat kreasi baru bagi grup wayang orang yang sudah ada sejak sebelum kemerdekaan tersebut. Gelar itu ia terima pada 1948, dan sejak itu namanya menjadi Nartosabdo
Pagelaran Wayang Kulit bersama Ki Nartosabdho
► Resi Manumoyoso
► Bambang sakri kromo
► Nara Suma
► Pandu Gugur (Pamukso)
► Bale Golo Golo
► wirotho parwo
► Pandowo Gubah
► Pandowo Boyomg
► Kongso Adu Jago
► Bimo Bungkus
► Bimo Suci
► Dewo Ruci
► Gatutkoco Lahir
► Gatutkoco Sungging
► Kolo Bendono Gugur
► Gatutkoco Wisudha
► Brajadenta balelo
► Banowati Janji
► Sayemboro Mentang
► Alap2 Styobumo
► Noroyono Jumeneng Ratu
► Sombo Juing
► semar barang jantur
► Wahyu Cakraningrat
► Semar kuning
► Permadi Boyong
► setyowati setyawan
► Sudomolo
JALANAN BARATAYUDHA
► Karno Duto
► kresno gugah 01,02,03,04,05,06,07,08,09,10,11,12,13,14,15,16
► kresno Duto
► Abimanyu Gugur
► karnoTanding
► salyo,DURYUDONO GUGUR
KI H Anom Suroto
ANOM SUROTO, H, (1948 – ), dalang Wayang Kulit Purwa, mulai terkenal sebagai dalang sejak sekitar tahun 1975-an. Ia lahir di Juwiring, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Rabu Legi 11 Agustus 1948. Ilmu pedalangan dipelajarinya sejak umur 12 tahun dari ayahnya sendiri, Ki Sadiyun Harjadarsana. Selain itu secara langsung dan tak langsung ia banyak belajar dari Ki Nartasabdo dan beberapa dalang senior lainnya.
Dalang laris itu juga pernah belajar di Kursus Pedalangan yang diselenggarakan Himpunan Budaya Surakarta (HBS), belajar secara tidak langsung dari Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PDMN), Pawiyatan Kraton Surakarta, bahkan pernah juga belajar di Habiranda, Yogyakarta. Saat belajar di Habiranda ia menggunakan nama samaran Margono.
Pada tahun 1968, Anom Suroto sudah tampil di RRI (Radio Republik Indonesia), setelah melalui seleksi ketat. Tahun 1978 ia diangkat sebagai abdi dalem Penewu Anon-anon dengan nama Mas Ngabehi Lebdocarito. Tahun 1995 ia memperolah Satya Lencana Kebudayaan RI dari Pemerintah RI.
Selain aktif mendalang, ia juga giat membina pedalangan dengan membimbing dalang-dalang yang lebih muda, baik dari daerahnya maupun dari daerah lain. Secara berkala, ia mengadakan semacam forum kritik pedalangan dalam bentuk sarasehan dan pentas pedalangan di rumahnya Jl. Notodiningratan 100, Surakarta. Acara itu diadakan setiap hari Rabu Legi, sesuai dengan hari kelahirannya, sehingga akhirnya dinamakan Rebo Legen. Acara Rebo Legen selain ajang silaturahmi para seniman pedalangan, acara itu juga digunakan secara positif oleh seniman dalang untuk saling bertukar pengalaman. Acara itu kini tetap berlanjut di kediamannya di Kebon Seni Timasan, Pajang, Sukoharjo. Di Kebon seni itu berdiri megah bangunan Joglo yang begitu megah dalam area kebon seluas 5000 M2.
Hingga akhir abad ke-20 ini, Anom Suroto adalah satu-satunya yang pernah mendalang di lima benua, antara lain di Amerika Serikat pada tahun 1991, dalam rangka pameran KIAS (Kebudayaan Indonesia di AS). Ia pernah juga mendalang di Jepang, Spanyol, Jerman Barat (waktu itu), Australia, dan banyak negara lainnya. Khusus untuk menambah wasasan pedalangan me-ngenai dewa-dewa, Dr. Soedjarwo, Ketua Umum Sena Wangi, pernah mengirim Ki Anom Suroto ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani.
Di sela kesibukannya mendalang Anom Suroto juga menciptakan beberapa gending Jawa, di antaranya Mas Sopir, Berseri, Satria Bhayangkara, ABRI Rakyat Trus Manunggal, Nyengkuyung pembangunan, Nandur ngunduh, Salisir dll. Dalang yang rata-rata pentas 10 kali tiap bulan ini, juga menciptakan sanggit lakon sendiri antara lain Semar mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, Wahyu Tejamaya, Wahyu Kembar dll.
Bagi Anom Suroto tiada kebahagiaan yang paling tinggi kecuali bisa membuat membuat senang penontonnya, menghibur rakyat banyak dan bisa melestarikan kesenian klasik.
Anom Suroto pernah mencoba merintis Koperasi Dalang ‘Amarta’ yang bergerak di bidang simpan pinjam dan penjualan alat perlengkapan pergelaran wayang. Selain itu, dalang yang telah menunaikan ibadah haji ini, menjadi pemrakarsa pendirian Yayasan Sesaji Dalang, yang salah satu tujuannya adalah membantu para seniman, khususnya yang berkaitan dengan pedalangan.
Dalam organisasi pedalangan, Anom Suroto menjabat sebagai Ketua III Pengurus Pusat PEPADI, untuk periode 1996 – 2001.
Pada tahun 1993, dalam Angket Wayang yang diselenggarakan dalam rangka Pekan Wayang Indonesia VI-1993, Anom Suroto terpilih sebagai dalang kesayangan.
Anom Suroto yang pernah mendapat anugerah nama Lebdocarito dari Keraton Surakarta, pada 1997 diangkat sebagai Bupati Sepuh dengan nama baru Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Lebdonagoro.
Audio pagelaran wayang oleh Ki Anom Suroto
photo
![]() |
pagelaran yang kami selenggarakan pertama kali ini di sambut baik oleh masyarakat, XXXXXXXXXX




Gardapati
Prabu Gardapati adalah raja Puralaya atau Turilaya,sebuah kerajaan kecil yang merupakan taklukan Kerajaan Astina.Dalam Baratayuda,bersama saudaranya,Prabu Gardamuka,ia merancang siasat jitu dengan memecah pasukan Pandawa dan menjebak Bima serta Arjuna.Siasat yang diusulkan itu disetujui Duryudana.
Pada mulanya Gardapati sengaja memanas-manasi Bima dengan menantang dan memperolokkannya.Bima yang bernafsu mengejar Prabu Gardapati mengeluarkan senjata cis sakti,membenamkan tanah di belakangnya,dan seketika itu tanah berubah menjadi kolam lumpur yang dalam.Tanpa menduga adanya jebakan itu,Bima masuk ke dalam kubangan lumpur yang dalam.Arjuna yang melihat abangnya berada dalam bahaya segera menolong,tetapi sebelum ia berhasil menarik Bima,Prabu Garadapati tiba-tiba mendorongnya sehingga ikut pula masuk dalam jebakan itu.
Setelah berhasil menjebak Bima dan Arjuna,Prabu Gardapati segera melapor pada Prabu Anom Duryudana untuk meminta perintah lebih lanjut,apakah kedua ksatria andalan Pandawa itu dibiarkan mati perlahan-lahan terbenam dalam lumpur atau langsung dibunuh.Atas saran Patih Sengkuni,Prabu Anom Duryudana memerintahkan Gardapati untuk memenggal kepala Bima dan Arjuna.Kedua kepala ksatria andalan Pandawa itu rencananya akan dipertontonkan pada keluarga dan prajurit Pandawa untuk melemahkan semangat tempur mereka.Jika itu terjadi,Duryudana yakin bahwa Pandawa yang tinggal tersisa tiga orang itu akan langsung menyerah kalah.Dengan demikian Baratayuda akan dimenangkan pihak Kurawa.
Dengan adanya perintah itu Prabu Gardapati bergegas kembali ke kubangan lumpur.Hatinya dipenuhi rasa puas dan bangga,sehingga kurang waspada.Dengan sepucuk pedang ia akan memenggal kepala Bima,tetapi saat itulah Bima melompat dan menarik tangan Prabu Gardapati yang sedang mengayunkan pedangnya,sehingga ikut pula jatuh ke kubangan lumpur.Sebelum Gardapati sempat menghindar,Bima telah menyambar tubuhnya,membenamkannya ke dalam lumpur dan menggunakan tubuh lawannya sebagai batu loncatan ke atas.Maka selamatlah Bima dan Arjuna,sedangkan Prabu Gardapati tewas terbenam dalam lumpur maut ciptaannya sendiri.
dewa
Betoro condro
Batara Candra adalah salah seorang putera Batara Ismaya dengan ibunya bernama Dewi Kanastren,sedangkan istrinya berjumlah 27 orang.Mereka itu kakak beradik putera Sang Hyang Daksa.Dalam pewayangan dikatakan Batara Candra adalah dewa yang bertugas mengatur dan memelihara rembulan serta sinarnya.Batara Candra termasuk yang disebut-sebut dalam Hastabrata sebagai dewa yang harus diteladani sifat-sifatnya oleh raja yang bijaksana dan selalu bersikap menyenangkan orang banyak.
Dalam sebuah kisah diceritakan ada seorang raja siluman gandarwa bernama Prabu Kala Rahu alias Rembuculung yang hendak mencuri Tirta Amerta.Kala Rahu bersembunyi di kegelapan malam,tetapi Batara Candra memergokinya dan melaporkan tempat persembunyiaan itu pada Batara Guru.Pemuka Dewa itu lalu mengutus Batara Wisnu menangkap Kala Rahu.Namun ketika hendak ditangkap,raja siluman itu melawan.Dengan senjata cakra,Batara Wisnu memotong kepala Kala Rahu.Tubuhnya jatuh terhempas ke bumi menjelma menjadi lesung penumbuk padi.Sementara itu kepalanya melayang-layang di angkasa menanti kesempatan membalas untuk menghukum Batara Candra.Itulah yang menimbulkan legenda gerhana rembulan,yang menyebabkan di masyarakat pedesaan di Jawa Tengah,Jawa Timur dan Bali,orang memukul-mukul lesung bila terjadi gerhana bulan,yang dipercaya untuk menghalau Kala Rahu.
betoro cokro
Batara Cakra atau Cakradewa adalah putera Sang Hyang Manikmaya atau Batara Guru dengan Batari Parwati.Batara Cakra berkedudukan di Kahyangan Ujung Semeru.Ia menjalankan tugas sebagai pujangga kahyangan,sedangkan Batara Ganesya atau Batara Gana bertugas menjaga Panti Pustaka Kahyangan.
Oleh karena itu Batara Cakra dan Batara Gana sama-sama mempunyai tugas membina kesusastraan,sehingga Batara Gana sebagai lambang dewa kebijaksanaan bidang pendidikan,Batara Cakra sebagai lambang dewa kapujanggan.Karya Batara Cakra yang terkenal adalah Serat Pustaka Jamus Kalimasada dan Jitapsara.Jamus Kalimasada dianugerahkan kepada Puntadewa,Jitapsara dianugerahkan kepada Begawan Palasara.

Batara Brama adalah putera kedua Batara Guru.Ia tinggal di Kahyangan Duksinageni.Kahyangan ini disebut juga Hargadahana atau Argadahana.Istrinya ada tiga orang,yakni Dewi Saci atau Dewi Wasi,Dewi Rarasati,dan Dewi Saraswati.Diantara banyak anaknya,yang paling terkenal adalah Dewi Dresanala yang diperistri Arjuna.Perkawinan ini menghasilkan seorang cucu bagi Batara Brama,yakni Bambang Wisanggeni.
Batara Brama pernah melakukan tindakan yang tidak bijaksana dengan menceraikan Dewi Dresanala dari Arjuna.Dresanala kemudian diberikan kepada Dewasrani,meskipun dia sedang hamil tua.Tindakan Batara Brama ini akibat bujukan dan hasutan Batari Durga.Namun akhirnya Batara Brama menyadari kesalahannya.
Menjelang Baratayuda,Batara Brama mendapat tugas berat dari Batara Guru.Karena para dewa menilai tidak ada satu makhluk pun di dunia yang sanggup menandingi kesaktian Wisanggeni,Batara ditugasi untuk membunuh Wisanggeni.Brama lalu memanggil Wisanggeni dan menanyakan apakah Wisanggeni bersedia berkorban bagi kemenangan Pandawa di Baratayuda.Wisanggeni menyatakan sanggup.Batara Brama lalu menyuruh cucunya memandang salah satu titik diantara mata Batara Brama.Seketika itu juga tubuh Wisanggeni mengecil sampai menjadi debu.Dalam Mahabarata,tokoh Wisanggeni tidak ada.
Batara Brama tergolong dewa yang murah hati tapi terkadang bertindak kurang bijaksana.Suatu ketika,Batara Brama melihat kedua kakak beradik,Hiranyakasipu dan Hiranyawreka yang tekun bertapa selama berbulan-bulan.Ketika Batara Brama bertanya apa tujuan mereka bertapa.Mereka menjawab ingin memiliki kesaktian yang terkalahkan oleh makhluk apapun,termasuk para dewa.Dengan murah hati,tanpa berpikir panjang,Batara Brama mengabulkan permintaan itu.
Bertahun-tahun kemudian,setelah Hiranyakasipu menjadi raja Alengka dan Hiranyawreka menjadi raja Giyantipura,keduanya bersekutu melawan para dewa.Tentu saja para dewa menjadi kewalahan karena kesaktian kedua kakak beradik itu tidak tertandingi oleh makhluk apapun.Untunglah Batara Wisnu menemukan akal yang cerdik,ia mengubah wujudnya menjadi makhluk baru,yakni berbadan dewa tapi berkepala singa dan menamakan dirinya Narasinga.Dengan bentuk seperti itu,Batara Wisnu dapat mengalahkan dan membunuh kedua raksasa sakti itu.

Batara Darma dikenal sebagai dewa yang bertugas menjaga tegaknya keadilan dan kebenaran dalam dunia pewayangan.Dewa inilah yang sebenarnya ayah biologis Puntadewa,atas izin Prabu Pandu Dewanata,istrinya yang bernama Dewi Kunti menerapkan ajian Adityarhedaya untuk mengundang para dewa.Dewa yang pertama dipanggil adalah Batara Darma ini.
Suatu ketika,dalam melaksanakan tugas menjaga keadilan Batara Darma pernah bertindak kurang bijaksana,sehingga ia dikutuk oleh Resi Animandaya.Pertapa sakti itu merasa diperlakukan tidak adil,dan ketika kemudian ia menuntut keadilan,Batara Darma tidak sanggup memberikan jawaban yang memuaskan.Karena adanya kutukan ini Batara Darma harus menjalani kehidupan sebagai manusia pincang yang dilahirkan dari wanita berdarah sudra,akhirnya Batara Darma menitis pada Yama Widura,anak bungsu Abiyasa,yang lahir dari seorang dayang bernama Drati.
Batara Darma pernah melindungi Dewi Drupadi,ketika istri Puntadewa itu hendak ditelanjangi oleh Dursasana.Waktu itu setelah Pandawa ditipu dan kalah main judi dengan para Kurawa,Dewi Drupadi dianggap sebagai barang taruhan yang dimenangkan oleh Kurawa.Di hadapan banyak orang,Dursasana mencoba melepas kain yang dikenakan Dewi Drupadi,namun selalu gagal.Setiap kali kain yang dikenakan dilepaskan dari tubuh Drupadi,saat itu pula secara gaib tubuh Drupadi terlapisi oleh kain yang lain,berkat pertolongan Batara Darma.
Setelah itu,menjelang berakhirnya masa pembuangan Pandawa di hutan Kamiyaka,Batara Darma datang menguji rasa keadilan Puntadewa,anaknya.Dewa itu menyaru sebagai raja gandarwa dan membunuh adik-adik Puntadewa satu persatu.Ia lalu mengajukan berbagai pertanyaan ujian pada Puntadewa yang ternyata dijawab dengan sangat memuaskan.Ketika Puntadewa disuruh memilih mana diantara adik-adiknya yang akan dihidupkan kembali,Puntadewa pun menjawab dengan pertimbangan keadilan yang matang.Karena jawaban Puntadewa yang memuaskan ini,raja gandarwa lalu berubah ujud menjadi Batara Darma,dan keempat adik Puntadewa dihidupkan kembali.
Menjelang kematian Pandawa,Batara Darma juga menjelma menjadi anjing peliharaan Puntadewa.Anjing itu terus mengikuti perjalanan Pandawa dalam perjalanan kelana menjemput kematian dan mengantar Puntadewa sampai ke pintu sorga.Namun ketika Puntadewa hendak masuk ke sorga,oleh penjaga gerbang sorga anjing itu dilarang masuk.Karena penolakan itu Puntadewa lalu protes,Puntadewa enggan masuk ke dalam sorga yang tidak menghargai sebuah kesetiaan.Pada saat itulah si anjing berubah ujud menjadi Batara Darma.Menurut kitab Mahabarata,Batara Darma adalah putra Sang Hyang Atri,cucu Batara Brama.
Dandun Wacana
Dandun Wacana
Dandun Wacana pada awalnya adalah raja jin dari Jodipati,dalam wilayah Hutan Wanamarta.Sesudah dikalahkan Bima,yakni tatkala para Pandawa membangun Kerajaan Amarta,Dandun Wacana menjadi salah satu nama lain dari Bima,dan Jodipati menjadi kasatriyannya.
Dalam seni kriya Wayang Kulit Purwa,terutama gagrak Surakarta dan Yogyakarta,Dandun Wacana ditampilkan dalam bentuk amat serupa dengan penampilan Bima.Bedanya,pada gelung Dandun Wacana memakai hiasan gruda mungkur,sedangkan Bima tidak.Selain itu Bima mengenakan kain Poleng Bang Bintulu,sedangkan kain kampuh yang dikenakan Dandun Wacana kain biasa.
Danaraja
Danaraja
Prabu Danaraja atau juga disebut Prabu Danapati adalah raja Lokapala,sebelum naik tahta dia bernama Wisrawana.Ia adalah putera Prabu Lokawarna dengan permaisurinya yang bernama Dewi Lokawati.Di hari tuanya,setelah tahta kerajaan diserahkan pada Prabu Danaraja,Prabu Lokawarna menjadi pertapa di Pertapaan Girijembangan.Sebagai pertapa mantan raja Lokapala itu menggunakan nama kecilnya,Wisrawa.Sehingga kemudian Prabu Lokawarna dikenal dengan sebutan Resi Wisrawa.
Kelahiran Wisrawana pada waktu itu dihadiri oleh Batara Brama,ketika menyaksikan bayi itu,Batara Brama tertegun melihat kemiripan wajah Sang Bayi dengan ayahnya,yang benar-benar sulit dibedakan,maka kemudian bayi itu diberi nama Wisrawana,dan kelak sampai ia dewasa wajahnya akan amat serupa dengan ayahnya.Kata-kata Batara Brama ini terbukti,kelak di usia tuanya,Resi Wisrawa masih tetap tampan dan gagah serupa sekali dengan anaknya.Mereka berdua seolah-olah kakak-beradik.
Prabu Danaraja pernah berperang tanding melawan ayahnya,ketika ia merasa dikhianati.Peristiwa ini terjadi setelah Prabu Danaraja minta tolong kepada ayahnya,Begawan Wisrawa,untuk melamarkan Dewi Sukesi,puteri Raja Alengka.Waktu itu Dewi Sukesi mengadakan sayembara,barang siapa dapat menjelaskan isi dan intisari Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu akan diterima sebagai suaminya.Demi kepentingan anaknya,Begawan Wisrawa berangkat ke Kerajaan Alengka mengikuti sayembara itu.Namun yang kemudian terjadi benar-benar di luar rencana.Begawan Wisrawa justru jatuh cinta pada Dewi Sukesi,sehingga akhirnya mereka kawin.
Tatkala berita pernikahan Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesi itu sampai ke telinga Prabu Danaraja,raja Lokapala itu marah dan sakit hati.Segera ia memimpin tentaranya menyerbu Kerajaan Alengka untuk menghukum ayahnya.Perang tanding antara ayah dan anak ini berlangsung berhari-hari mengakibatkan kahyangan gonjang-ganjing.Akhirnya dapat dilerai oleh Batara Narada,dan dijelaskan oleh Batara Narada,bahwa memang sudah menjadi suratan takdir,Dewi Sukesi adalah jodoh Begawan Wisrawa.Prabu Danaraja kemudian mau mengalah,sebagai imbalannya para dewa memberinya kedudukan sederajat dengan dewa,dengan gelar Batara Danaraja atau Batara Kuwera.Batara Brama memberinya kedudukan sebagai penguasa loka(alam) kebendaan atau kekayaan.
Puluhan tahun kemudian,ketika Rahwana telah menjadi raja Alengka,Kerajaan Lokapala yang terkenal kaya-raya itu diserbu.Prabu Dasamuka yang berhasil masuk ke keraton Lokapala menuntut penyerahan mahkota kerajaan,Pusaka Gandik Mas dan kereta kencana Jatisura.Prabu Danaraja langsung menolak permintaan itu,sehingga mereka pun berperang tanding.Walaupun sebenarnya kalah,Prabu Danaraja bisa selamat karena di tengah perang itu ia dilarikan oleh Batara Narada dan diungsikan ke kahyangan.Sejak itu Danaraja alias Wisrawana alias Batara Kuwera menetap di kahyangan Wukir Kaliasa,dengan kedudukan sederajat dengan para dewa.Pada penyerbuan itu pusaka Gandik Mas berhasil dirampas oleh Dasamuka.Batara Kuwera mendapat tugas sebagai dewa penguasa kekayaan dan sebagai penjaga Kembang Dewaretna,namun sayangnya kelak Kembang Dewaretna ini berhasil dirampas oleh Prabu Dasamuka.
Damagosa
Prabu Damagosa adalah Raja Cedi,ia menikah dengan puteri sulung Prabu Basukunti,yang bernama Dewi Sruta.Dari perkawinan ini Prabu Damagosa mendapat seorang anak yang diberi nama Sisupala,yang kelak menggantikan kedudukannya sebagai raja Cedi.
Tetapi anak itu ternyata lahir dalam keadaan cacat.Matanya ada tiga,dengan mata tambahan terletak di dahinya.Sedangkan kedua kakinya lemas bagaikan tubuh ular.Karena merasa prihatin melihat keadaan bayinya,Prabu Damagosa mengajak istrinya masuk ke sanggar pamujan untuk meminta penjelasan pada para dewa mengenai musibah yang dialami keluarganya.Maka terdengarlah suara tanpa ujud yang mengatakan bahwa keadaan bayi seperti itu dapat pulih menjadi bayi normal bilamana dipangku oleh seorang titisan Batara Wisnu.
Pada upacara selapanan,Prabu Damagosa mengadakan upacara syukuran secara besar-besaran dengan mengundang seluruh keluarga besarnya dan para raja tetangga.Prabu Damagosa berharap agar diantara yang hadir sebagai tamunya itu ternyata ada yang titisan Batara Wisnu.Secara berurutan,bayi Sisupala dipangku oleh para tamu,dengan harapan satu diantara mereka akan dapat menyembuhkan cacat si bayi.Sisupala ternyata dapat sembuh dari cacat yang dideritanya setelah dipangku oleh Narayana(Kresna),sepupu Sisupala.
Citroroto,Cirowati,Citrogodo
Citrowati
Dewi Citrawati adalah istri kedua Prabu Arjuna Sasrabahu dari negeri Maespati.Dewi Citrawati adalah kakak Prabu Citragada dari kerajaan Magada.Yang melamar Dewi Citrawati adalah utusan Prabu Arjuna Sasrabahu,bernama Patih Suwanda alias Bambang Sumantri.Sebelum membawa Dewi Citrawati ke Maespati,terlebih dahulu Patih Suwanda harus berperang melawan Prabu Darmawasesa dari Kerajaan Widarba dengan pasukan raksasanya.
Raja yang terkenal sakti itu sebenarnya telah lebih dahulu melamar Dewi Citrawati,tetapi Sang Dewi tidak menyukainya.Namun untuk terang-terangan menolak lamarannya,Prabu Citragada tidak berani.Setelah Patih Suwanda berhasil membunuh Prabu Darmawasesa,ia harus menyediakan syarat perkawinan lainnya,yaitu mencarikan Putri Domas atau Maru Domas,yakni 800 orang gadis yang bersedia menjadi madu Dewi Citrawati.
Setelah syarat itu dapat dipenuhi,Patih Suwanda kemudian memboyong Dewi Citrawati ke Maespati.Namun Patih Suwanda menjadi berubah pikiran setelah memasuki perbatasan Kerajaan Maespati,dia tidak meneruskan perjalanannya melainkan malah menantang rajanya,Prabu Arjuna Sasrabahu agar bersedia bertanding dengannya sebelum menyerahkan Dewi Citrawati.Karena tantangan ini Prabu Arjuna Sasrabahu menjadi marah,lalu triwikrama,tubuhnya berubah menjadi makhluk yang besar sekali yang disebut brahala.Melihat hal itu Patih Suwanda menjadi ketakutan dan segera mengaku kalah,maka Patih Suwanda pun akhirnya dipecat.
Sementara itu,setelah menjadi permaisuri Kerajaan Maespati,Dewi Citrawati membujuk suaminya,agar mau memindahkan Taman Sriwedari untuknya,dipindah secara utuh dari Kahyangan Untarasegara ke Kerajaan Maespati.Permintaan ini cukup memusingkan Prabu Arjuna Sasrabahu.Oleh Raja Maespati,tugas pemindahan Taman Sriwedari itu diberikan kepada Patih Suwanda alias Bambang Sumantri.Semula Patih Suwanda tidak sanggup,tapi untunglah ia bertemu adiknya,Sukrasrana.Adiknya inilah yang akhirnya membantu memindahkan Taman Sriwedari ke Maespati dalam keadaan utuh.
Dewi Citrawati yang dalam pewayangan diceritakan sebagai titisan Dewi Sri,ternyata banyak permintaannya.Dia karakter wanita yang selalu ingin memanfaatkan kekuasaan suaminya untuk kesenangannya sendiri.Sesudah pemindahan Taman Sriwedari berhasil,ia minta pada suaminya agar membendung Sungai Gangga untuk dia bisa berenang-renang bersama dayang-dayangnya.Guna menyenangkan istrinya,Prabu Arjuna Sasrabahu lalu melakukan triwikrama sehingga tubuhnya berubah wujud menjadi raksasa yang amat besar.Ia tidur melintang di sungai,sehingga tubuh besarnya berfungsi sebagai bendungan.Pembendungan sungai inilah yang akhirnya menyebabkan perang antara pasukan Alengka dengan Maespati.Waktu itu Prabu Dasamuka sedang memimpin tentaranya berkemah di tepi sungai itu.Akibat pembendungan yang dilakukan Prabu Arjuna Sasrabahu itu air Sungai Gangga meluap,menggenangi perkemahan bala tentara Alengka.Hal ini membuat marah Dasamuka.Bersama pasukan raksasanya,Dasamuka menyerang tempat Dewi Citrawati berenang.Bambang Sumantri alias Patih Suwanda mencoba menghalang-halangi serbuan tentara Alengka dan amukan Dasamuka,tetapi gagal,malah Patih Suwanda gugur di tangan Prabu Dasamuka.
Citrarata
Prabu Citrarata sesungguhnya adalah Batara Citrarata ketika ia turun ke dunia sebagai manusia,dan menjadi raja di Martikawata.Raja tampan inilah yang membuat Dewi Renuka,istri Maharesi Jamadagni,mabuk kepayang sehingga ia melupakan suami dan lima anaknya.Tanpa mempedulikan lagi harkat dan martabat dirinya selaku wanita,Dewi Renuka menyerahkan tubuhnya pada Prabu Citrarata.Karena berbuat serong dengan Prabu Citrarata,Dewi Renuka dihukum mati oleh suaminya.Yang menjadi algojo pelaksana hukuman mati itu adalah Rama Bargawa,anak bungsunya sendiri.
Prabu Citrarata akhirnya mati di tangan Rama Bargawa,yang sengaja datang ke Kerajaan Martikawata untuk membalas dendam.Citrarata dipersalahkan telah menyalahgunakan kedudukan dan ketampanannya,sehingga mendatangkan musibah yang menimpa keluarga Rama Bargawa.Namun dalam kitab Mahabarata,keduanya tidak pernah berbuat serong,tetapi terkena fitnah diisukan serong.
Citranggada
Prabu Citranggada atau Citrasoma adalah raja Astina.Ia putera Prabu Sentanu dan Dewi Durgandini.Adiknya yang seibu dan seayah bernama Wicitrawirya atau Citrawirya.Citranggada mempunyai kakak lain ibu,bernama Dewabrata yang sebenarnya lebih berhak menjadi raja Astina,karena ia putera sulung Prabu Sentanu.Namun karena Prabu Sentanu terlanjur berjanji pada Dewi Durgandini bahwa anak dari Dewi Durgandini lah yang akan mewarisi tahtanya,Dewabrata bersedia mengalah.Ia ikhlas adik tirinya yang naik tahta.
Citranggada naik tahta pada usia muda,menggantikan Prabu Sentanu yang meninggal dunia.Sebagai raja Astina,sebenarnya Prabu Citranggada tidak banyak berperan dalam pemerintahan.Dewabrata lah yang membantunya memerintah dan memperluas wilayah kerajaan Astina.Bahkan waktu Prabu Citranggada akan kawin,Dewabrata lah yang mencarikan jodohnya.Citranggada kawin dengan Dewi Ambika dan Ambalika,puteri Kerajaan Giyantipura yang dalam kitab Mahabarata disebut Kasi.
Prabu Citranggada meninggal dalam usia muda,ia gugur waktu Kerajaan Astina diserbu oleh bala tentara raksasa pimpinan raja raksasa sakti yang kebetulan namanya sama,Prabu Citranggada juga.Walaupun akhirnya raja raksasa itu mati di tangan Dewabrata,tetapi jiwa Prabu Citranggada tidak tertolong.Yang kemudian menjadi raja berikutnya adalah Wicitrawirya,bukan Dewabrata.Ketika Citranggada meninggal,ia belum sempat mempunyai putera.Dua orang jandanya kemudian menjadi istri Prabu Wicitrawirya.
Burisrawa
Sejak masih remaja,Burisrawa jatuh cinta dengan Wara Subadra,adik Baladewa.Burisrawa mengenal Subadra ketika masih gadis remaja dan masih dipanggil dengan sebutan Lara Ireng,pada saat perkawinan Dewi Erawati dengan Baladewa.Waktu itu Burisrawa mencoba merayu Lara Ireng namun dihalang-halangi oleh Setyaki sehingga terjadi perkelahian.Baladewa dan Kresna berusaha melerai mereka,dan menjanjikan kelak sesudah dewasa Burisrawa akan dinikahkan dengan Lara Ireng.
Ternyata beberapa tahun kemudian Lara Ireng alias Subadra dinkahkan dengan Arjuna,karena ksatria inilah yang sanggup memenuhi persyaratan mahar perkawinan.Burisrawa walaupun telah dibantu para Kurawa tidak sanggup memenuhi persyaratan mahar yang diminta.Dalam upacara perkawinan Burisrawa yang dibantu para Kurawa berusaha membuat onar.Namun dapat dikalahkan oleh para Pandawa,sedangkan Burisrawa untuk kedua kalinya mengadu kesaktian dengan Setyaki,dan untukkedua kalinya Baladewa dan Kresna melerai mereka.
Setelah bertahun-tahun menderita karena patah hati,Burisrawa lalu pergi meninggalkan tempat tinggalnya,di Kasatrian Cindekembang,ke hutan Krendawahana.Dia memohon bantuan Batari Durga,agar ia dapat melampiaskan hasrat cintanya pada Wara Subadra,walaupun hanya semalam saja.Dengan bantuan Batari Durga,akhirnya ia berhasil menyusup ke Kasatrian Madukara,tempat tinggal Arjuna.Kebetulan ketika itu,Arjuna sedang berburu ke hutan Minangsraya.
Di Madukara,Burisrawa mencoba merayu Subadra,tetapi tidak ditanggapinya.Karena sudah tidak tahan lagi memendam hasratnya,Burisrawa mencoba memperkosa Subadra,tetapi Subadra lebih baik mati daripada ternoda.Setelah Subadra mati,Burisrawa kebingungan dan mencoba melarikan diri.Namun ia segera ditangkap Antareja,anak Bima.Dengan bantuan Antareja pula,Dewi Subadra berhasil dihidupkan kembali.Walaupun demikian,Burisrawa tidak jadi dihukum mati,jiwanya diselamatkan oleh kakaknya,Dewi Banowati yang merayu dan membujuk Arjuna agar Burisrawa dibebaskan.
Menjelang Baratayuda,Kresna datang ke Astina selaku duta para Pandawa,untuk menuntut kembali kekuasaan atas separoh Kerajaan Astina dan seluruh Amarta.Perundingan ini gagal,bahkan Kresna dikeroyok para Kurawa.Burisrawa yang hadir di tempat itu hendak mengeroyok juga,tetapi dihalang-halangi oleh Setyaki.Terjadilah perkelahian untuk yang ketiga kalinya,namun dapat dilerai kembali oleh Kresna.Perkelahian yang tidak tuntas ini menyebabkan berkobarnya api dendam diantara mereka.Mereka sama-sama bersumpah hendak saling membunuh pada perang Baratayuda kelak.
Meskipun berujud setengah raksasa,Burisrawa tergolong sakti.Dalam Baratayuda ia banyak membunuh para prajurit Pandawa,termasuk sepuluh orang anak Setyaki.Sesuai dengan sumpah mereka,keduanya sengaja bertemu di medan laga.Perang tanding itu berlangsung seru dan seimbang.Setelah beberapa lama berperang,Setyaki kewalahan dan dapat diringkus Burisrawa.Tubuh Setyaki yang terkapar ditindihnya,tangan Burisrawa telah siap dengan candrasa untuk menebas kepala Setyaki.Dengan bantuan Arjuna,tangan Burisrawa yang terangkat ke atas yang menggengam candrasa itu berhasil ditebas dengan panah Arjuna.Tangan Burisrawa menjadi buntung,karena kebingungannya Burisrawa menjadi tidak waspada.Tiba-tiba saja Setyaki segera meraih buntungan tangan Burisrawa yang masih menggengam candrasa itu untuk ditebaskan ke leher Burisrawa.Maka tewaslah Burisrawa,anak Prabu Salya dengan candrasa pusakanya sendiri.
Brantalaras
Brantalaras kawin dengan Dewi Karnawati,putri Adipati Karna.Tadinya yang berminat meminang Dewi Karnawati ada dua orang,yaitu Lesmana Mandrakumara,putera mahkota Astina dan Brantalaras.Dewi Karnawati lalu mengajukan syarat.Putri Adipati Karna ini menginginkan bilamana kelak menikah ia ingin agar rambut sinomnya(rambut di dahi) dikerik dengan kuku Pancanaka.Lesmana Mandrakumara ternyata lebih dulu datang menghadap Bima yang memiliki kuku Pancanaka.Bima langsung menyanggupi permintaan putera Duryudana itu.Brantalaras yang datang terlambat,tidak berhasil mendapatkan kesanggupan Bima,sehingga ia sangat bingung.Untunglah Wisanggeni,saudara tirinya sanggup membantu.Wisanggeni lalu dengan kesaktiannya mengubah wujud Petruk menjelma menjadi Bima.Selanjutnya Brantalaras dan Bima palsu langsung bergegas menuju ke Awangga untuk menjumpai Dewi Karnawati.Dengan terpenuhinya syarat itu Brantalaras akhirnya kawin dengan Dewi Karnawati.Tak lama kemudian Lesmana Mandrakumara datang dengan Bima yang asli.Maka terjadilah pertengkaran antara Brantalaras dengan Lesmana Mandrakumara,Bima yang asli dengan yang palsu.Pada perang tanding itu Bima yang palsu berubah wujud menjadi Petruk.Namun Dewi Karnawati tetap menjadi istri Brantalaras karena telah menikah lebih dulu
BUTO PRINGGONDANI
BRAJADENTA
Brajadenta berujud raksasa,adik Dewi Arimbi,jadi termasuk paman Gatotkaca.Ayahnya bernama Prabu Trembaka,raja Pringgandani,yang tewas ketika berperang melawan Pandu Dewanata.Abangnya yang sulung,Prabu Arimba,yang mencoba membalas dendam atas kematian ayahnya malah tewas di tangan Bima.Itulah yang menjadi sebab Brajadenta dendam pada keponakannya sendiri,Gatotkaca.Ia menganggap Gatotkaca tidak berhak menduduki tahta Pringgandani.
Brajadenta beranggapan Gatotkaca adalah anak pembunuh abangnya,dan cucu pembunuh ayahnya.Dengan tujuan merebut kekuasaan,Brajadenta kemudian memberontak.Dalam usaha mencapai maksudnya Brajadenta mendapat dukungan dari Batari Durga dan para Kurawa.Namun justru ia dihalang-halangi oleh adik-adiknya,yaitu Brajamusti,Brajalamatan,Prabakesa,dan Kalabendana.Namun Brajadenta tetap pada niatnya.Untuk menggagalkan pemberontakan ini,dengan berat hati Brajamusti terpaksa berhadapan sebagai musuh dengan kakaknya.Dalam perang tanding ini tidak ada yang muncul sebagai pemenang,karena keduanya sama-sama tewas.
Namun sebelum sampai ajalnya,Brajamusti masih sempat menginsyafkan kekeliruan kakaknya.Itulah sebabnya setelah mereka mati,arwah kakak-beradik itu sepakat untuk merasuk ke tubuh keponakannya.Arwah Brajamusti masuk ke telapak tangan kiri Gatotkaca,sedangkan arwah Brajadenta ke telapak tangan kanannya.Dengan bersemayamnya arwah kedua raksasa itu di telapak tangannya,maka kesaktian Gatotkaca menjadi bertambah.Setiap kepala raksasa yang kena tempeleng Gatotkaca dipastikan akan pecah kepalanya.

Brajamusti adalah salah seorang paman Gatotkaca,karena ia adalah adik Dewi Arimbi.Ia anak keempat Prabu Trembaka,raja Pringgandani,yang mati terbunuh ketika berperang melawan Prabu Pandu Dewanata.Abangnya yang sulung,Prabu Arimba,juga mati dibunuh Bima.Kakaknya yang nomor dua,Dewi Arimbi,menjadi istri Bima,dan sekaligus mewarisi tahta Kerajaan Pringgandani.Kakaknya yang nomor tiga,Brajadenta,ternyata kemudian memberontak ketika Dewi Arimbi mewariskan singgasana pada Gatotkaca.
Brajamusti tidak menyetujui pemberontakan yang dilakukan Brajadenta itu.Ia menentangnya,sehingga keduanya terlibat dalam peperangan,dan mati sampyuh.Keduanya tewas bersama-sama.Namun sebelum tewas,Brajamusti sempat menyadarkan abangnya bahwa perbuatannya itu keliru.Karena itu arwah kedua raksasa itu lalu menyusup masuk ke tubuh Gatotkaca.Brajadenta menempati telapak tangan kanan,sedangkan Brajamusti menyusup ke telapak tangan kiri.Dengan penyusupan ini,membuat kesaktian Gatotkaca menjadi bertambah.
Brajalamatan adalah adik Brajamusti.Seperti saudaranya yang lain,mereka berujud raksasa.Setelah Brajadenta dan Brajamusti mati sampyuh,tewas besama-sama,Brajalamatan bersama adiknya,Prabakesah diangkat Gatotkaca sebagai senapati Kerajaan Pringgandani.
Brajalamatan berumur panjang.Pada peristiwa pemberontakan Brajadenta,ia bersikap netral.Ia hidup sampai Baratayuda selesai,dan sempat mengasuh anak-anak Gatotkaca,dan mendidik mereka dengan ilmu keprajuritan.Berkat asuhan Brajalamatan,anak-anak Gatotkaca sebagian besar menjadi senapati Kerajaan astina pada pemeritahan prabu parikesit
BATARA GANESA
BATARA GANESA
Batara Ganesa terkadang ditulis Ganesya,disebut juga Batara Ganapati,atau Batara Gana,dianggap sebagai Dewa Pendidikan,Sastra,dan Penyebar Ilmu Pengetahuan.Ia adalah anak Bataa Guru dari Dewi Umaranti,yang tinggal di kahyangan Glugutinatar.
Batara Ganesa lahir tidak dalam bentuk manusia,melainkan dalam ujud menyerupai gajah,lengkap dengan gading dan belalainya.Hal ini terjadi karena sesaat setelah Batara Guru dan Dewi Uma saling bercumbu kasih,para dewa datang menghadap.Di antara mereka yang datang menghadap adalah Batara Endra yang mengendarai Gajah Airawata.Gajah itu luar biasa besar,sehingga membuat takjub dan kaget Dewi Uma,yang saat itu lagi mengandung.Karena ketakjubannya itu,maka kemudian Dewi Umaranti melahirkan putera yang bentuk dan wajahnya mirip sekali dengan gajah.
Bayi gajah Ganesa ternyata juga memiliki kesaktian luar biasa.Ia dapat mengalahkan raja raksasa Nilarudraka dari kerajaan Glugutinatar,yang datang menyerbu kahyangan.Ketika itu raja raksasa gandarwa itu mengamuk karena lamarannya pada Dewi Gagarmayang ditolak.Setelah dikalahkan,Glugutinatar dijadikan kahyangannya.Dalam pewayangan,pada lakon Batara Brama Krama,Batara Ganesa pernah diruwat oleh Batara Brama sehingga ujudnya menjadi dewa yang tampan,tidak lagi berkepala gajah.Setelah ujudnya berubah,Batara Ganesa dikenal dengan sebutan Batara Mahadewa.Menurut Adiparwa,yaitu bagian pertama dari Mahabarata,Ganesa juga berjasa menjadi juru tulis Empu Wyasa yang mengarang kitab Mahabarata itu.Nama lain Batara Ganesa adalah Ganapati,Lambakarna,Gajanana,Karimuka dan Gajawadana
bermono bermani
Bremana
Prabu Bremana adalah putera Batara Brama yang menurunkan raja-raja di Alengka.Ibunya bernama Dewi Sarasati.Bramana pernah menjadi raja di Gilingwesi.Istrinya bernama Dewi Sri Unon,puteri Batara Wisnu.Sebelumnya Dewi Sri Unon adalah istri Bambang Bremani,adik Prabu Bremana.Sebelum diambil permaisuri oleh Prabu Bremana,Dewi Sri Unon sudah mempunyai anak dengan Bambang Bremani yang bernama Bambang Parikenan.Dari perkawinannya dengan Prabu Bremana,Dewi Sri Unon melahirkan seorang putri cantik,yang dewasanya kemudian diperistri oleh Prabu Banjaranjali,raja Alengka.
Bremani
Bambang Bremani adalah salah seorang putera Batara Brama.Ia adik Prabu Bremana.Sejak kecil Bremani mempunyai watak pendeta dan luhur budinya.Dialah yang membangun pertapaan Sapta Arga di Gunung Rahtawu.Mula-mula Bremani mempunyai istri bernama Dewi Sri Unon,puteri Batara Wisnu.Setelah istrinya melahirkan anak yang diberi nama Bambang Parikenan,kakaknya Bremani yang bernama Prabu Bremana menginginkan agar istri Bremani itu menjadi permaisurinya.Dewi Sri Unon tidak mau,namun suaminya,Bambang Bremani malah menganjurkan agar Dewi Sri Unon bersedia menuruti keinginan kakaknya,Prabu Bremana.
Dalam pewayangan,putera Bambang Bremani yang bernama Bambang Parikenan kelak menurunkan keluarga besar Pandawa dan Kurawa.Adapun silsilahnya,Bambang Bremani menurunkan Bambang Parikenan,kemudian menurunkan Resi Manumayasa,menurunkan Bambang Sekutrem,menurunkan Bambang Sakri,menurunkan Begawan Palasara,menurunkan Begawan Abiyasa yang bercucu para Pandawa dan Kurawa.